Pernikahan dan Turunan Masalahnya



Doktrin  perilaku perkawinan anak-anak dapat dilihat pada teks suci agama Yudaisme dan Islam (Wikipedia, 2012)Doktrin Yudaisme berpandangan bahwa perkawinan pada anak-anak wanita dapat dilakukan pada saat anak perempuannya berusia antara 3 tahun dan 12 tahun ditambah satu hari. Pandangan Yudaisme tersebut telah memberi ruang penuh kepada sang ayah dari gadisnya untuk mengatur pernikahan anaknya. Dalam Islam pun sama, doktrin perkawinan anak-anak pada  Islam dapat dilihat pada sahih al-Bukhari, Sunni, yang menyatakan bahwa Muhammad melakukan hubungan pernikahan dengan Aisha ketika berumur sembilan tahun dan telah mencapai pubertas.

Namun pernikahan di usia anak-anaknya tidak hanya miliknya pengikut doktrin agama tertentu. Menurut Unicef (2005) di banyak bagian dunia, orang tua mendorong pernikahan anak perempuan mereka. Mereka cencerung mempercepat pernikahan anaknya, sementara mereka masih anak-anak dengan harapan bahwa pernikahan yang akan menguntungkan orang tua mereka, baik secara finansial dan sosial. Karena pernikahan lebih awal (early marriage) yang  berorientasi eksploitasi anak, Unicef (2005) dengan tegas melakukan penentangan karena early marriage sebagai legalisasi pelanggaran hak asasi manusia, sekaligus mengorbankan perkembangan anak perempuan dan juga sering mengakibatkan kehamilan dini hingga isolasi sosial.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sadik (dalam Unicef, 2001:18), pernikahan lebih awal (pernikahan dini) merupakan ancaman besar kesejahteraan bagi anak. Selain itu, pernikahan dini telah mempengaruhi hilangnya hak-hak pengantin anak (untuk bertahan hidup, untuk mengembangkan) yang dirusak. Dengan menikah dini, anak-anak sebenarnya telah meninggalkan dengan sedikit kesempatan atau tidak sama sekali terhadap kehidupan seksual  atau jumlahnya, serta waktu dan jarak kelahiran anak-anaknya.

Early marriage represents a major threat to a child’s well being. While the practice affects both girls and boys, the most fundamental rights of a child bride – to survive, to develop – are undermined. She is left with little or no opportunity to influence her own sexual life or the number, timing and spacing of her children” (Sadik, dalam UNICEF, 2001:18)

Pada berbagai penjuru dunia, pernikahan anak merupakan masalah sosial dan ekonomi, yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat. Menurut studi UNICEF (2006) dan USAID (2006) stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu, telah menyumbang dalam meningkatkan angka kejadian pernikahan dini.  Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial, dan finansial setelah menikah, telah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan di usia belia. UNICEF (2001) menambahkan alasan orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi ketakutan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas. Senada dengan UNICEF, Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty (2009:136) pun demikian, ia menegaskan bahwa pernikahan dini cenderung melipatgandakan kekerasan dan keterlantaran pascapernikahan.

Menurut Roger dan Amato (2000, dalam Henslin, 2006:119) tradisi pernikahan lebih awal ini cenderung terlegalisasikan dalam sistem sosial budaya pada masyarakat karena dalam pernikahan memberikan ruang pencapaian harapan para laki-laki dan perempuan menjadi meningkat. Wewenang tersebut berfungsi untuk memberi sumbangan yang lebih besar terhadap penghasilan. Sehingga ada kecenderungan terdapat peranan yang saling diperebutkan dalam berbagai bidang.

Pandangan Roger dan Amato ini kemudian dipertajam Henslin (2006:118) bahwa melangsungkan pernikahan sama halnya keluarga telah memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan menikah, menurut Henslin, semua kebutuhan atau fungsi seperti produksi ekonomi, sosialisasi anak, perawatan orang yang sakit dan berusia lanjut, rekreasi, pengendalian sex, hingga reproduksi, secara instan telah tercukupi. Henslin menambahkan, karena keluarga memberikan sumbangan terhadap kesejahteraan masyarakat, maka bentuk pernikahan dini-pun telah menjadi fenomena universal dalam masyarakat global.

Kebiasaan perkawinan dini sampai sekarang masih tetap dipertahankan oleh sebagian penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan (Ihromi, 2004). Perkawinan anak-anak dilakukan pada saat seseorang berusia kurang dari 12 tahun. Mereka akan sangat malu dan takut apabila anak, terutama anak perempuan, setelah usia tersebut masih belum menikah. Pandangan bahwa sebutan perawan tua sangat hina dan mempengaruhi kehidupan keluarganya, telah mendorong orang tua untuk mengawinkan anaknya sedini mungkin. Untuk mencapai keinginannya para orang tua, yang mempunyai anak berusaha membuat suatu hubungan untuk mengawinkan anak-anak mereka. Hubungan tersebut kemudian membentuk suatu ikatan yang disebut besanan.

Terlepas dari tudingan UNICEF (2005) bahwa menikah lebih awal telah mengeksploitasi hak dasar anak, dengan kompleksitas fungsi yang terpancarkan oleh pranata keluarga ini, (pelayanan kesejahteraan hingga reproduksi) pernikahan dini tentu telah mendorong terciptanya cara pandang bahwa pernikahan dianggap sebagai suatu komitmen seumur hidup yang suci. Simbolisasi itu kemudian memberi petunjuk dalam interaksi keseharian, akan bagaimana laki-laki dan perempuan menggunakan simbol suci untuk menciptakan kehidupan sosial yang dimulai dengan pernikahan yang suci.

Sumber Rujukan:
Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Penerj: Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T. O. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor.
UNICEF. 2001. Early Marriage Child Spouses. Italy. United Nations Children’s Fund. Innocenty Research Centre Florence.
UNICEF. 2005. Early Marriage: A Harmful Traditional Practice. Italy. United Nations Children’s Fund. Innocenty Research Centre Florence.
UNICEF. Early Marriage: Child Spouses. Innocenti Digest 2001;7:2-29. UNICEF. Child Protection Information Sheet: Child Marriage. [diunduh 29 April 2009]. Didapat dari: www. unicef.org. 2006.
UNICEF. Early Marriage: A Harmful Traditional Practice, A Statistical Exploration. [diunduh 29 April 2009]. Didapat dari: www.unicef.org. 2006.
USAID. Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health. [diunduh 29 April 2009]. Didapat dari: www. usaid.gov. 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974 tentang Perkawinan

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Pernikahan dan Turunan Masalahnya"